Diam-diam menyelundupkan cahaya berbalut embun. Bersama dengan kepak harap yang gemuruhnya terdengar sampai di penghujung kampung kami. Dihunusnya sebilah belati kehidupan yang akupun tak tahu akankah ia memberi ataupun mengambil. Hanya rasa dan nafas yang jadi jalan dengan sesekali sepotong hati itupun jika ia teringat. Pagi ini Jakarta berkejaran dengan detik. Dan akupun ikut larut di dalamnya.

Selasa, 19 Januari 2010. Kubungkus dengan kertas koran yang memberitakan. Ada harapan di seberang selatan jalan. Dan begitulah aku sampai pada pintumu. Segera aku terbaca habis seperti cuaca. Dan aku begitu buta warna. Selasa, 15 Desember 2009. Pada lorong yg tak pernah cukup terang dengan bangku bangku tunggu panjang. Juga pada macam macam jenis nyeri dan rasa putus asa. Selasa, 11 Agustus 2009.

Kutulis dengan nyaris berlinang airmata. I nilah kota lintangpukang, saudara. Kota di mana kabel listrik dan kabel telepon terentang centangperentang tak kenal karuan. Menerobos daun, dahan dan ranting pohon-pohon yang batangnya. Jadi tempat memakukan iklan panti pijat dan seruan sia-sia. Yang meneriakkan perlunya tak henti menciptakan kerukunan antar umat beragama,. Meski padahal terdapat silang sengketa di antara mereka. Mengapa iklan panti pijat bertebaran di penjuru kota? Dan pab.

Di musim yang tak sepenuhnya jujur. Mencair dalam kehangatan cahaya pertama. Terang yang lebih memberiku silau. Lebih sempurna dari yang dapat kusentuh. Melingkarkan lengan ajaibnya bagi nasibku. Seorang pemabuk tanpa kartu pengenal. Tanpa harus membakar hunian serangga.